Tuesday, November 23, 2010

KELOMPOK 1 : PERBANDINGAN MILITER BRAZIL DAN INDONESIA

PERAN MILITER BRAZIL DAN INDONESIA DALAM MENJAGA STABILITAS KEAMANAN DAN PERTAHANAN NEGARA SERTA DAMPAKNYA TERHADAP DEMOKRASI DAN PEMBANGUNAN EKONOMI (Era 1980 – 1990an)

Militer atau angkatan bersenjata adalah suatu institusi dalam sistem politik suatu negara, yang secara esensial berfungsi sebagai ujung tombak utama dalam upaya pertahanan keamanan suatu institusi negara baik yang berasal dari pihak luar, maupun ancaman keamanan yang berasal dari internal suatu negara. Namun, seiring perkembangannya institusi militer kerapkali melanggar tujuan esensial penciptaannya sebagai alat pertahanan keamanan negara. Institusi militer kemudian ikut campur lebih dalam ke sistem politik suatu negara, misalnya menjadi salah satu unsur penting dalam decision making process pemerintahan suatu negara, sehingga militer menjadi pihak yang mengatur jalannya suatu negara. Indonesia dan Brazil merupakan dua negara berkembang yang sama-sama memiliki sejarah pemerintahan yang sempat dikuasai oleh pemimpin yang berlatar belakang militer, yaitu Brazil di bawah kepemimpinan João Baptista de Oliveira Figueiredo (1979-1985) dan Indonesia di bawah kepemimpinan Soeharto (1965-1998) yang menonjol pada tahun 1980 hingga 1990an. Militer berhasil memasuki kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat di kedua negara tersebut.

Raise of Power Milier
• Indonesia : Militer masuk ke dalam pemerintahan sejak pengalihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto yang memiliki latar belakang militer yang kuat. Soeharto meniti karir militernya dari pangkat sersan tentara KNIL Hindia-belanda, kemudian komandan PETA, komandan resimen dengan pangkat Mayor, dan komandan batalyon berpangkat Letnan Kolonel. Ia pernah menjadi Pengawal Panglima Besar Sudirman dan menjadi Panglima Mandala (pembebasan Irian Barat). Ketika terjadi peristiwa G-30-S/PKI, ia mengambil alih pimpinan Angkatan Darat. Selain sebagai Pangad, Jenderal Soeharto juga ditunjuk sebagai Pangkopkamtib oleh Presiden Soekarno. Pada Maret 1966, Jenderal Soeharto menerima Supersemar dari Presiden Soekarno dengan tugas untuk mengembalikan keamanan dan ketertiban, serta mengamankan ajaran-ajaran Soekarno. Dikarenakan situasi politik yang memburuk setelah terjadinya G-30-S/PKI, kemudian diadakan Sidang Istimewa MPRS pada Maret 1967 yang memutuskan penunjukan Soeharto sebagai presiden RI kedua pada Maret 1968. Masa pemerintahannya, yaitu masa Orde Baru memiliki landasan formal berupa Pancasila, UUD 1945, dan Ketetapan MPRS yang menyebabkan peranan presiden kemudian semakin besar. Soeharto mendominasi dan menjadi penguasa mutlak karena tidak ada lembaga atau institusi yang mengawasi presiden dan mencegah penyelewengan kekuasaan. Porsi kekuatan militer di Indonesia menjadi lebih besar karena adanya pengaruh Dwi Fungsi ABRI yang dalam realisasinya mengaburkan fungsi pertahanan dan fungsi ketertiban, dan justru mengakibatkan meluasnya peranan militer. Format Dwi Fungsi ABRI pada masa Soeharto antara lain, politik sentralisasi di tangan eksekutif, pendekatan keamanan menjadi ciri yang menonjol, dominasi militer dengan pendayagunaan dan perluasan Dwi Fungsi ABRI, rendahnya apresiasi terhadap supremasi hukum, dan otoritas birokrasi yang berlebihan.

• Brazil : Pemerintahan militer sudah berlangsung di Brazil jauh sebelum João Baptista de Oliveira Figueiredo berkuasa. Figueiredo menerima pendidikan menengah di sekolah militer di Porto Alegre dan Rio de Janeiro, meraih gelar aspirante di kavaleri pada 1937, tiga tahun misi pelatihan militer Brazil di Paraguay, melalui Escola Superior de Guerra ia kemudian bergabung dengan fakultas di sekolah staf umum pada tahun 1961 dimana ia berpartisipasi dalam konspirasi yang membawa turun Presiden João Goulart pada tahun 1964. Figueiredo dipromosikan menjadi kolonel pada bulan Agustus 1964 dan membantu menemukan SNI sebagai lembaga intelijen utama pemerintah federal. Sebelum menjabat sebagai kepala SNI tahun 1974, ia pernah menjabat sebagai kepala polisi negara bagian São Paulo (1966-1968) dan sebagai komandan resimen kavaleri 1 bergengsi di Brasilia (1968-1969). Dipromosikan menjadi brigadir jenderal pada 1969, ia menjabat sebagai kepala staf angkatan darat ketiga yang bermarkas di Porto Alegre dan kemudian di SNI. Saat pemerintahan Geisel, Figueiredo ditunjuk sebagai kepala jenderal SNI. Pemerintahan Brazil bertransformasi dari parlementer ke sistem diktator militer karena pemerintahan parlementer yang dipimpin oleh Presiden Goulart dianggap terlalu mencampuri urusan internal militer yang merubah sistem promosi dan mutasi perwira dengan maksud menjamin kesetiaan militer, yang kemudian berdampak pada penggulingan kekuasaannya. Pada masa pemerintahan diktator militer, terdapat kontrol yang ketat atas pers dan pihak oposisi. Tetapi pada masa Figueiredo, hal ini dilunakkan dan dibentuk dewan yang mengatur siaran radio dan televisi. Pada saat itu kaum militer juga mengambil alih kekuasaan dan menggalakan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemusatan kekayaan terhadap sekelompok masyarakat di Brazil. Sejak tahun 1964, kaum militer juga menentukan arah politik luar negeri.

Bentuk dan Sistem Pemerintahan
• Indonesia : Pada masa pemerintahan Soeharto, bentuk dan sistem pemerintahan di Indonesia sangat kental sekali dengan nuansa militer. Keterlibatan militer dalam posisi-posisi dan jabatan sipil dimulai ketika munculnya konsep Dwi Fungsi ABRI. Dengan masuknya militer dalam pemerintahan, otomatis megubah peta perpolitikan pada saat itu dimana badan esekutif, legislatif, dan yudikatif cenderung didominasi oleh kalangan militer, baik dari segi tokoh-tokoh didalamnya maupun kebijakannya. Selain itu, jalannya pemerintahan pada saat itu menjadi cenderung otoriter, sentralistik, meluasnya praktek korupsi, dan banyak melakukan pelanggaran HAM. Campur tangan militer dalam pemerintahan ditandai dengan adanya pembatasan politik bagi rakyat, bagi mereka yang berbeda suaranya dengan pemerintah dianggap pembangkang, atau antek-antek komunis. Jumlah partai dikurangi hingga hanya dua partai saja, yaitu PPP dan PDI, sedangkan Golkar dinyatakan sebagai organisasi pemilu mendampingi kedua partai tersebut. Dengan dukungan Soeharto, birokrasi, dan ABRI membuat Golkar selalu menjadi mayoritas dalam pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.

• Brazil : Pada tahun 1980an, secara politis-konstitusional telah terjadi kemunduran angkatan bersenjata dan militer dari kursi pemerintahan. Periode pasca kemunduran militer ini merupakan periode awal bagi liberalisasi dan demokratisasi. Tahap ini diikuti dengan adanya gerakan mahasiswa, organisasi buruh, gerakan gereja katholik, media, dan gerakan lainnya yang secara bertahap muncul sebagai bentuk pernyataan atas dukungan terhadap liberalisasi sistem politik di Brazil. Selain itu, pada tahun 1985, tercatat bahwa pembangunan di Brazil ditandai dengan ketergantungan yang didasarkan pada tripod ekonomi, yaitu aliansi swasta, modal nasional negara, dan modal internasional. Di sisi lain, periode pasca kemuduran militer dalam pemerintahan sebagai awal liberalisasi dan demokratisasi terbukti dengan terpilihnya Presiden Jose Sarney dari kalangan sipil dan pada tahun 1989.

Peran Signifikan Militer
• Indonesia : Dominasi militer dalam pemerintahan Orde Baru dimanfaatkan oleh elit politik yang berkuasa saat itu, yaitu Soeharto untuk memenuhi kepentingan politiknya, yaitu mempertahankan kekuasaan. Pemerintahan Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto menempatkan militer pada posisi-posisi strategis pemerintahan, legislatif, ataupun posisi strategis Golkar. Golkar adalah partai bentukan militer yang dibuat untuk ikut dalam Pemilu untuk mendapatkan legitimasi rakyat atas pemerintahan Orde Baru. Hubungan Golkar-militer cukup dinamis, dimulai dari dominasi militer didalam tubuh Sekber Golkar, dan Soeharto yang kemudian tampil dominan dalam Golkar sebagai dewan pembina. Hal ini dilakukan untuk memastikan Golkar akan keluar sebagai pemenang Pemilu sehingga Soeharto bisa kembali berkuasa.

• Brazil : Pemerintahan Brazil saat itu menggunakan militer untuk menjamin keamanan negara yang tidak hanya meliputi pertahanan terhadap agresi dari luar melainkan pertahanan terhadap pemberontakan dan komunisme di dalam negeri. Militer pada masa pemerintahan Figueiredo tidak digunakan untuk mencapai self-interest elite politik yang berkuasa, melainkan untuk membantu demokratisasi Brazil dengan cara mengawasi proses tersebut.

Dampak Peran Militer terhadap Demokrasi dan Pembangunan Ekonomi
Dalam kepemimpinan masing-masing presiden Brazil dan Indonesia terdapat perbedaan yang cukup signifikan setelah menjalankan pemerintahannya setelah beberapa tahun. Demokratisasi di Indonesia merupakan demokrasi yang dimulai dari bawah (oleh masyarakat) dan baru berjalan saat mendekati jatuhnya rezim pemerintahan Soeharto pada tahun 1998. Tidak seperti Indonesia yang demokratisasinya terjadi dikontrol oleh masyarakat (demokratisasi dari bawah), demokratisasi yang terjadi di Brazil merupakan demokrasi di kontrol dari atas. Militer pada masa pemerintahan Figueiredo tidak digunakan untuk mencapai self-interest elite politik yang berkuasa, melainkan untuk membantu demokratisasi Brazil dengan cara mengawasi proses tersebut. Para pemimpin yang otoriter tersebut menggalakkan pembangunan dan liberalisasi ekonomi besar-besaran. Namun, ternyata hasilnya hanya dinikmati oleh sebagian orang saja, dan seringkali masyarakat yang menjadi korban ketidakadilan tersebut. Pembangunan seringkali hanya tersentralisasi di ibukota dan tidak merata hingga ke pelosok negeri. Selain itu, pemerintahan militer di Brazil dan Indonesia pada umumnya menganut sistem perekonomian yang berbasis kepada mekanisme perekonomian pasar dan tergantung pada bantuan asing, sehingga menimbulkan dampak pada bertambahnya hutang luar negeri yang pada akhirnya membuat hancurnya perekonomian negara.
Hal di atas merupakan bukti bahwa Indonesia dan Brazil tidak berhasil mengaplikasikan supremasi sipil karena masyarakat tidak memiliki kemampuan legislatif untuk mengatur tugas-tugas militer yang seharusnya, yaitu yang berkaitan dengan pertahanan dan keamaan negara. Pemerintahan militer yang terjadi di Brazil dan Indonesia juga bertentangan dengan konsep profesionalisme militer, karena seharusnya hanya politisi yang berperan besar dalam masalah politik. Jika militer ingin mencapai tingkat profesionalisme yang tinggi, maka hal tersebut hanya dapat dicapai oleh militer jika ia terisolasi dari politik.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Alagappa, Muthiah. Military Profesionalism in Asia : Conceptual and Empirical Perspectives. Honolulu : East-West Center, 2001.
Aspinall, Edward. Opposing Suharto: compromise, resistance, and regime change in Indonesia. Stanford University Press, 2005.
Carranza, Mario E. Transition to Electoral Regimes and the Future of Civil-Military Relation in Argentina and Brazil. 1997.
Fattah, Dr. Abdoel. Demilitarisasi Tentara ; Pasang Surut Politik Militer 1945-2004. Yogyakarta : LKIS Pelangi Aksara, 2005.
Janowitz, Morris. Hubungan-Hubungan Sipil Militer Persfektif Regional. Jakarta : Bina Aksara, 1985.
J.A., Denny, Fransiskus Surdiasis. Membaca Isu Politik. Yogyakarta : LKIS Yogyakarta, 2006.
Mas’Oed, Mohtar, Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2008.
Muhaimin, Prof. Dr. Yahya A. Masalah Kebijakan Pembinaaan Pertahanan Indonesia. Yogyakarta : Penerbit Tiara Wacana, 2006.
Nordlinger, Eric A. Soldier In Politics, Military Groups and Governments. Engelwood Cliffs : Prentice-Hall., 1977.
Pambudi, A. Sintong dan Prabowo. Media Pressindo, 2009.
Reza, Bhatara Ibnu, Junaedi, dan Rusdi Marpaung. Reformasi Peradilan Militer. Jakarta : Inparsial, 2007.
Samego, Indria, et. al. Bila ABRI Menghendaki. Bandung : Mizan, 1998.
Soempeno, Femi Adi. Mereka Mengkhianati Saya : Sikap Anak-Anak Emas Soeharto di Penghujung Orde Baru.Yogyakarta : Galang Press, 2008.
Winarno, Budi. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Jakarta : Media Pressindo, 2008.
Internet
Aktor dan Kepentingan, 26 Oktober 2010 .

Biografi Presiden Soeharo, 29 Oktober 2010 .

“João Baptista de Oliveira Figueiredo,” Answer.com, 29 Oktober 2010
.
Politik dan Pemerintah, 26 Oktober 2010 .

Sejarah, 26 Oktober 2010 .

Sumber lainnya
Militer dan Politik di Selatan Amerika Latin, 26 Oktober 2010 <1163750619_Militer_dan_Politik_di_Selatan_Amerika_Latin.pdf>.


Disusun oleh :
Rifky Akbar 08/264710/SP/22579
Dwi Prameswari 09/280071/SP/23153
Fauzia Gustarina Cempaka Timur 09/280110/SP/23158
Fetriesna Isro Irmayanti 09/280159/SP/23161
Dewi Andita Sari 09/280167/SP/23162
Aisyah Febria 09/280186/SP/23164
Andana Wiyaka Putra 09/280253/SP/23168
Desy Valentin 09/280270/SP/23169
G.A. Amanda Clarissa Himawan 09/280278/SP/23172

6 comments:

  1. Kepada kelompok pertama ini, saya lihat kedua negara sama jatuh pada masalah ekonomi mereka.
    Jadi terkesan yang salah adalah kebijakan ekonomi yang diambil oleh pemerintah militer tetapi bukan karena "mereka adalah militer".
    Jadi yang mau saya tanyakan apakah jika militer menguasai pemerintahan suatu negara memang cenderung kurang bisa mengatasi permasalahan ekonomi? Apakah alasannya?
    Lalu apakah memang antar sipil dan militer sulit untuk disatukan dalam suatu kerangka pemerintahan negara?

    terima kasih.
    Luthfi Purnahasna (09/281892/SP/23337)

    ReplyDelete
  2. Untuk kelompok I yg tlah mempost summary paper kelompok yg bgitu menarik^^,

    Saya ingin mengusulkan: Bagaimana kalau dalam landasan konseptual/awal penjelasan ditambahkan uraian mengenai konsep profesionalisme militer?
    Menurut saya, hal ini akan memperjelas pemahaman pembaca mengenai keseluruhan isi paper.

    Menurut perkembangannya, profesionalisme dalam bidang militer terdiri atas dua macam yakni Profesionalisme Konvensional (Conventional Professionalism) yang lebih dahulu muncul, menempatkan tentara yang professional sebagai prajurit yang memiliki kecakapan-kemahiran-kepandaian hanya dalam bidang militer, dan Profesionalisme Baru (New Professionalism) dimana tentara tidak saja dituntut untuk dapat menguasai bidang pertahanan-keamanan tetapi juga bidang sosial-politik-ekonomi. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat dalam Buku Samuel P. Huntington, Soldier and State.

    Usulan ini sekaligus merupakan kritik terhadap dua kalimat terakhir yang menjadi penutup paper, “Profesionalisme militer macam apakah yang dimaksud?”

    Terimakasih,
    Ulya Amaliya (09/282061/SP/23375)

    ReplyDelete
  3. aslm kelompok 1,

    kelompok Anda menjelaskan bahwa militer berperan dalam membantu'demokratisasi dan mengawasi proses tersebut'.
    bisa berikan contoh yang jelas untuk memperkuat pernyataan tersebut ?
    karena menurut yang saya tahu, militer kerap kali bertolak belakang dengan yang namanya demokrasi.

    kemudian saya ingin menanyakan standing-position kelompok anda akan dampak peran militer terhadap demokrasi dan pembangunan ekonomi di Brazil.
    karena saya belum menangkapnya dengan jelas.
    disatu sisi anda mengatakan bahwa militer melakukan pembangunan ekonomi, disisi lain terdapat ketidakadilan.
    Jadi, peran Militer Brazil disini berhasil membangun ekonomi apa tidak ?
    alangkah lebih baiknya bila mencantumkan kesimpulan agar perbandingan diantara kedua negara dapat dibedakan dengan jelas

    terimakasih
    Mohammad Reyhanougy.S
    09/280820/SP/23263

    ReplyDelete
  4. maaf, pertanyaan pertama itu bagaimana peran militer 'BRAZIL' dalam demokratisasi.
    lupa ngetik

    ReplyDelete
  5. untuk kelompok 1, saya mau bertanya : disebutkan bahwa militer pada masa pemerintahan Figueiredo tidak digunakan untuk mencapai self-interest elite politik yang berkuasa, melainkan untuk membantu demokratisasi Brazil dengan cara mengawasi proses tersebut..saya setuju dengan pendapat bahwa prinsip prisip yang ada di militer sering bertolak belakang dengan demokratisasi (seperti militer yang hierarkis dan tersentralisasi), bagaimanakah kelompok ini bisa menjelaskan relevansinya?terimakasih
    astiwi inayah (23597)

    ReplyDelete
  6. Tulisannya cukup bagus, itung2 ngasih pengetahuan juga :)

    ReplyDelete