Monday, November 29, 2010

JAWABAN KELOMPOK 1 PERBANDINGAN MILITER BRAZIL DAN INDONESIA

Jawaban Perpol Perbandingan Peran Militer Brazil dan Indonesia

1. Karena latar belakang militer yang kompetensinya lebih menjangkau pada aspek pertahanan dan keamanan, sehingga manajemen dalam aspek ekonomi suatu negara kurang bisa diterapkan secara tepat. Selain itu, militer juga sesungguhnya dituntut untuk tidak berhubungan dengan hal-hal yang yang berhubungan dengan masalah ekonomi karena hal tersebut bukan termasuk bidang mereka. Sedangkan mengenai hubungan sipil dan militer yang sulit disatukan dalam kerangka pemerintahan, didasari suatu faktor, yaitu adanya intervensi yang berlebihan. Saat salah satu pihak mencoba intervensi dan mencoba menggunakan kekuasaannya secara menyimpang, contohnya Goulart (sipil) yang mengintervensi mutasi militer, ini menyebabkan militer marah dan menjatuhkan Goulart.

Selain itu, terkadang keterlibatan militer dalam suatu pemerintahan menyebabkan pemerintah berjalan otoriter dan cenderung mengarah kepada kepentingan satu pihak saja, yaitu militer. Hal ini menyebabkan sipil tidak mempunyai kekuasaan dalam pemerintahan, padahal yang terpenting adalah memperjuangkan kepentingan sipil, sehingga akan menjadi suatu hal yang sulit untuk mempersatukan sipil dan militer dalam suatu pemerintahan. Tapi jika kedua belah pihak dapat menerapkan check and balances, maka bukan tidak mungkin hubungan militer dan sipil bisa berjalan selaras.

Keterlibatan militer dalam politik juga mempunyai peran terhadap kestabilan ekonomi di suatu negara. Peran militer ini tidak selalu berdampak buruk terhadap keadaan ekonomi negara tersebut, misalnya dalam studi kasus Brazil dimana keterlibatan militer pada pemerintahan Figueiredo digunakan untuk membantu demokratisasi Brazil yang menyebabkan Brazil mampu melakukan transisi politik secara damai dan lancar. Hal ini otomatis memberikan kestabilan ekonomi bagi Brazil. Namun dalam hal lain keterlibatan militer tidak dapat dipungkiri juga dapat memberikan dampak negatif terhadap ekonomi suatu negara, seperti halnya studi kasus di era Soeharto dimana sistem pemerintahan militer cenderung menyebabkan penguasaan bidang-bidang tertentu oleh militer secara dominan. Hal ini menimbulkan pemusatan kekuasaan dan pembangunan di area tertentu, kemudian kesejahteraan yang tidak merata, sehingga pada akhirnya terjadi ketidakstabilan ekonomi negara.
(Dijawab oleh : 23161, 23162, 23164)

2. Meskipun pada dasarnya profesionalisme militer yang kami maksud bukan terkait dengan jenisnya yang telah Anda sebutkan, yakni Profesionalisme Konvensional dan Profesionalisme Baru, melainkan mengenai profesionalisme dalam satu kesatuan yang tentunya mampu memperkuat entitas militer baik di Brasil maupun di Indonesia. Mengenai profesionalisme, keberadaan Profesionalisme Baru merupakan bentuk penyempurnaan dari wujud profesionalisme sebelumnya, yakni Profesionalisme Konvensional. Sebelumnya tentara hanya dibekali dengan kemahiran dalam berperang, berstrategi, dan bersenjata, sedangkan dalam perkembangannya tentara perlu diberikan pemahaman mengenai permasalahan ekonomi dan sosial politik mengingat besarnya peran mereka dalam bidang pertahanan dan keamanan yang tentunya terkait erat dengan permasalahan-permasalahan tersebut. Pemahaman tersebut bukan berarti berfungsi untuk menunjang tentara untuk dapat memasuki “dunia politik” dan mengesampingkan tugasnya untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara, namun pemahaman tersebut ditujukan untuk menambah wawasan mereka. Sementara itu, profesionalisme yang kami bahas dalam dua kalimat terakhir dalam bab Penutup adalah profesionalisme militer secara keseluruhan dimana militer seharusnya berperan secara optimal dan profesional dalam menjaga pertahanan dan keamanan negara. Artinya, militer fokus terhadap hal pertahanan keamanan, sementara untuk urusan politik akan dipercayakan pada praktisi politik.
(Dijawab oleh : 23153)

3 dan 4. Demokrasi Brazil adalah "demokrasi dari atas," Figueiredo hanya meneruskan usaha dari presiden sebelumnya yaitu Geisel untuk mengusahakan demokratisasi. Contoh militer yang mengawasi adalah ketika Pemilu dimana Jose Sarney terpilih presiden yang berasal dari warga sipil, disana militer mengawasi proses Pemilu. Masalah demokrasi yang bertentangan dengan militer, mungkin itu berasal dari prinsip pribadi Geisel, karena sebenarnya ada juga pihak-pihak yg menentang. Namun, Geisel (presiden sebelum Figueiredo, tidak dibahas oleh kelompok karena diluar tahun pembahasan) tetap memulai dengan mengizinkan para politisi kembali mengambil tempat di federal offices, dan dia menunjuk Figueriedo karena menganggap Figueiredo memiliki pandangan yang sama dengannya sehingga bisa melanjutkan demokratisasi.
(Dijawab oleh : 23172)

Tuesday, November 23, 2010

Pengumumuman tentang Makalah Perbandingan Politik Kelompok 1, 2, 3

*Untuk teman-teman kelas Perbandingan Politik, Setelah membaca summary paper kelompok 1,2,3 ,teman-teman diperbolehkan untuk memberikan komentar berisi pertanyaan/saran/kritik terhadap isi presentasi salah satu dari ketiga kelompok tersebut dari tanggal 24-26 November 2010.

* Pertanyaan/saran/kritik terhadap isi presentasi dapat dilakukan dengan mempost comment di bawah summary makalah kelompok yang ingin dikomentari. JANGAN LUPA TULISKAN NAMA DAN NIM. Bagi teman-teman yang aktif mengajukan pertanyaan, saran ataupun kritik terhadap isi presentasi ketiga kelompok akan sangat dipertimbangkan oleh Dosen dan Tutor untuk MENDAPATKAN TAMBAHAN NILAI

* Respon atas pertanyaan/saran/kritik yang masuk akan dijawab oleh kelompok yang bersangkutan. Untuk masing-masing kelompok diberikan kesempatan untuk menampung komentar dari teman-teman dari tanggal 26-28 November 2010.

* Kelompok 1,2,3 diminta mendata semua pertanyaan dan masukan yang masuk terhadap makalah masing-masing kelompok. Untuk respon dan jawaban yang diberikan oleh masing-masing kelompok terhadap seluruh pertanyaan dan masukan yang masuk, dikirimkan ke email tutor pada Senin 29 November 2010, Sebelum jam 5 sore.

* Respon dan jawaban dari masing-masing kelompok atas pertanyaan dan masukan yang ditujukan ke paper kelompok 1,2,dan 3 akan di tampilkan di blog ini pada hari yang sama.

~TERIMAKASIH~

KELOMPOK 3: PERBANDINGAN SISTEM POLITIK MALAYSIA DAN LEBANON

Kestabilan pemerintahan Lebanon dan Malaysia saat ini sangat bergantung sejauh mana rezim di 2 negara memberi keseimbangan peran antar etnis. Kerentanan heterogenitas di 2 negara pada awalnya berusaha dijajaki dengan sistem konsosiasional, tapi perjalanan waktu membuktikan tantangan konflik antar etnis kedua negara, merintangi kestabilan pemerintahan kedua negara. Hal ini terkait dengan dinamika isu kemasyarakatan yang menguji eksistensi konsosiasional yang diterapkan pemerintah dan konsistensi besaran peran bagi tiap etnis. Permasalahan ini jadi fokus kelompok kami sebagai perbandingan politik kedua negara.
Walaupun sama-sama mempunyai keberagaman etnis, namun dominasi dan peran etnis di dua negara tersebut sangat berbeda. Perbedaannya adalah di Lebanon sistem politik etnis diimplementasikan berdasarkan agama-agama yang ada di Lebanon, sedangkan di Malaysia diimplementasikan berdasarkan suku-suku yang ada di Malaysia

LEBANON

Lebanon merupakan sebuah wilayah di kawasan Regional Timur Tengah yang memiliki banyak etnis yang dilatarbelakangi oleh perbedaan Agama. Secara sosiologis masyarakat Lebanon digolongkan kepada masyarakat yang sangat terpengaruhi oleh sekte atau etnis atau kelompok dalam berbagai bidang kehidupannya.
Kurang lebih 40,8% warga Lebanon adalah penganut agama nasrani . Sedangkan penganut agama Islam terbagi menjadi dua, yaitu Muslim Syiah 26,2% dan Muslim Sunni 26,5% . Sisanya Druze 5,6%, disusul kelompok minoritas Kurdi 0,9% . Kelompok warga Lebanon yang beragama Nasrani berasal dari golongan kristen Maronite, Apostolik Armenia, Gereja Ortodoks Antiokia, Gereja Asiria, Katolik Khaldea, Protestan dan Katolik Yunani Melkit . Dari presentase tersebut dapat disimpulkan bahwa muslim lebih mendominasi di Lebanon. Akan tetapi selisih yang tidak terlalu besar menjadikan ketegangan sering terjadi diantara kedua belah pihak. Apalagi dalam kehidupan sosial di Lebanon masyarakat lebih terpengaruh oleh faktor kebudayaan agama yang mengkotak-kotakkan mereka kedalam berbagai etnis dibandingkan dengan faktor ideologi kebangsaan, menjadikan masyarakat di negara ini saling bersaing dalam mencapai tujuan kelompoknya masing-masing.
Keberagaman etnis membawa negara dengan lambang Pohon Aras ini untuk menganut sistem Konfesionalisme, yaitu membagi kekuasaan secara merata pada setiap kelompok-kelompok dan enis yang ada . Sistem ini tertuang dalam perjanjian tidak tertulis antara Perdana Mentri dan Presiden Lebanon pada tahun1943. Implementasi nyata dari pembagian tersebut menjadikan presiden harus berasal dari kelompok Kristen Maronite, Perdanan Mentri dari Sunni, dan Ketua Parlemen harus dari kelompok Syiah. Pembagian ini diharapkan dapat mewakili masyarakat Lebanon secara keseluruhan karena ketiga kelompok tersebutlah yang menjadi kelompok mayoritas di Lebanon sehingga seluruh masyarakat etnis di Lebanon dapat merasakan keadilan dan memiliki Lebanon secara utuh. Disisi lain pembagian ini juga bertujuan untuk meminimalisir rasa saling curiga antar etnis dalam pemerintahan karena setiap etnis memiliki andil dan jabatan yang setingkat dalam pemerintahan.
Namun pada kenyataannya banyak konflik-konflik internal yang terjadi mewarnai berjalannya sistem ini seperti yang dikutip dari rilis UGM;. Kegagalan Mekanisme Consociational Dalam Mengatasi Konflik Lebanon,“Sejak awal diberlakukan mekanisme ini sebenarnya sudah menunjukkan kegagalan, yaitu dengan terbunuhnya Perdana Mentri Riadh ul Solh dan meletusnya Perang Saudara tahun 1956,” ujar Siti Muti’ah . Disamping itu juga banyak perang saudara yang terjadi seperti perang tahun 1947, perang saudara terbatas tahun 1956, dan perang saudara besar tahun 1975-1990. Fakta ini menunjukkan betapa terkotak-kotaknya etnis di Lebanon.
Banyak pengamat menyebutkan bahwa kegagalan sistem ini cenderung disebabkan oleh para elit hanya melakukan sharing power saja. Padahal seharusnya dalam mekanisme konsosiasional tersebut para elit tidak hanya berbagi kekuasaan namun juga melakukan sharing authority atau berbagi kebijakan untuk melindungi warganya.
Disisi lain sistem ini juga tidak mencapai kesetaraan yang menjadi tujuan dari perjanjian 1943. Contohnya, 12 sekte kristen lain kecuali kristen Maronite merasa sistem ini masih merugikan mereka dan hanya menguntungkan Etnis Kristen Maronite dan itupun hanya sebagian keluarga saja seperti Keluarga Chamoun, Franjieh, Gemmayel, Moaward dan Lahoud. Sedangkan diantara kelompok Muslim Sunni hanya keluarga konglomerat yang bisa menduduki jabatan Perdana Mentri, seperti keluarga Solh, Salam, Karami, Hariri dan Siniora . Walaupun Lebanon tidak dalam keadaan perang namun kesetaraan antar etnis dalam perpolitikan belum dapat tercapai.
Namun tetap sistem pembagian ini merupakan sistem terbaik yang dapat diterapkan oleh Lebanon dalam pemerintahannya untuk paling tidak meminimalisir konflik internal. Untuk itu, pembagian kekuasaan dalam sistem ini kemudian dipertegas dengan diformalkannya sistem ini kedalam dalam konstitusi pada tahun 1990. Dengan Pelegalan ini, jabatan Presiden harus diduduki oleh Katolik Maronite, Perdanan Mentri diduduki oleh Pemimpin Islam Sunni, Wakil Perdana Mentri oleh seorang dari etnis Kristen Ortodoks dan Ketua Parlemen kepada etnis Muslim Syiah. Sistem pembagian kekuasaan ini juga “menular” kepada pembagian kursi di Parlemen. Ketika sebelum adanya perjanjian Thaif tahun 1989 dan rasio pembagian 128 kursi kristen muslim masih 6:5 masih sering ada konflik yang terjadi disebabkan ketidaksetaraan antara Islam dan Kristen yang sulit tercapai karena jelas-jelas kristen sangat diuntungkan. Namun kemudian setelah adanya Perjanjian Thaif dan rasio perbandingan kristen muslim menjadi 5:5 ketidaksetaraan yang terjadi pun berakhir. Menjadikan pembagian kursi bagi Kristen / Katolik sebanyak 64 kursi, dengan faksi Maronite mendapat jatah 34 kursi, Ortodoks Yunani 14 kursi, katolik Yunani 8 kursi, Ortodoks Armenia, serta Katolik Armenia, Protestan, dan lainnya masing-masing mendapat 1 kursi. Bagi Islam didistribusikan 64 kursi terbagi atas: Sunni dan Syiah masing-masing 27 kursi, Druze 8 kursi, sedangkan Alawi 2 kursi.
Pembagian yang lebih jelas ini merupakan jawaban yang paling memungkinkan dari dinamika perpolitikan etnis di Lebanon dan membantu meminimalisir ketegangan antar etnis yang ada walaupun tidak benar-benar bisa mencapai kata damai.

MALAYSIA

Malaysia merupakan suatu negara multietnis yang mempunyai penduduk sekitar 20juta jiwa dimana dalam jumlah yang besar ini dapat diklasifikasikan menjadi beberapa etnis. Tiga etnis utama yaitu Melayu (52%), Cina (35%), India (10%), dan etnis lain (3%). Ketiga etnis yang mendiami wilayah Malaysia tersebut sulit untuk berbaur dikarenakan adanya pengelompokkan berdasarkan perbedaan warna kulit, asal daerah, bahasa, agama, dan budaya mereka yang berbeda satu dengan yang lain. Dengan adanya keberagaman etnis tersebut, maka pemerintah Malaysia berusaha untuk mempersatukannya dalam suatu wadah agar terbentuk suatu kesamaan identitas yaitu sebagai bangsa Malaysia. Wadah tersebut berupa suatu ideologi bernama “Rukun Negara” yang berintikan akan kepercayaan kepada Tuhan, kesetiaan kepada Raja dan Negara, Keluhuran Perlembagaan, Kedaulatan Undang-Undang, serta Kesopanan dan Kesusilaan.
Dalam dekade 2000an, pada tahun 2003 sampai tahun 2009, Malaysia dipimpin oleh seorang kepala pemerintahan yaitu Perdana Menteri Abdullah bin Ahmad Badawi. Di dalam masa pemerintahannya, etnis yang ada di Malaysia juga berperan akan keberlangsungan pemerintahan yang ada. Keberagaman etnis tersebut terbentuk dengan adanya Barisan Nasional (BN) koalisi partai berkuasa UMNO (etnis Melayu), MCA (etnis Tionghoa), MCA (etnis India) dan sejumlah partai kecil lainnya yang dipimpin Perdana Menteri Abdullah Badawi. Kaum China dan India lebih antusias mengikuti pemilu dibandingkan etnis Melayu di Malaysia. Kaum China, misalnya, menyebar di berbagai partai seperti MCA, Gerakan, DAP, PKR, atau partai lokal lain di Sabah dan Serawak sehingga banyak dari mereka saat ini menjadi anggota parlemen yang menunjukkan bahwa politik saat ini telah menjadi kebutuhan penting bagi etnis China dan India di Malaysia sebagai antisipasi mereka dalam memperjuangkan persamaan hak semua etnis warga Malaysia.
Di dalam parlemen Malaysia, terdapat dua badan yaitu Dewan Negara (Senate) dan Dewan Rakyat (House of Representative). Mayoritas etnis Melayu di pemerintahan didasarkan pada Konstitusi Malaysia yang menyebutkan bahwa mengakui penduduk Melayu sebagai penduduk pribumi dan memegang peranan dalam politik pemerintahan. Di dalam Konstitusi tersebut juga dijelaskan bahwa etnis non-Melayu seperti Cina memegang peranan dalam bidang ekonomi. Hal ini terjadi sampai sekarang mengingat tidak adanya amandemen dalam Konstitusi Malaysia tersebut. Dominasi etnis Melayu dalam politik Malaysia mempengaruhi keamanan nasional Malaysia. Rasa aman maupun tidak yang dirasakan etnis Melayu tertuang dalam kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah apalagi etnis Melayu secara ekonomi lebih lemah terhadap etnis Cina.

A. Perbandingan Sistem Politik Malaysia dengan Lebanon
Setelah melihat deskripsi bagaimana implementasi sistem politik etnis atau sektarian di Malaysia dan Lebanon, kita dapat menemukan perbedaan utama antara implementasi yang dilakukan oleh kedua negara tersebut. di Lebanon sistem politik etnis diimplementasikan berdasarkan agama-agama yang ada di Lebanon, sedangkan di Malaysia diimplementasikan berdasarkan suku-suku yang ada di Malaysia.
Fakta-fakta tersebut mungkin dapat menjelaskan mengapa di Lebanon sistem sektarian itu dibagi berdasarkan agama dan mengapa di Malaysia berdasarkan suku. Berdasarkan fakta tersebut kita dapat menemukan pola bahwa sistem politik etnis di kedua negara tersebut didasarkan pada apa yang strukturnya lebih banyak dan kompleks, dalam hal ini yaitu agama dan suku. Karena memang jika dilihat Lebanon terdiri dari sangat banyak aliran agama yang kemudian terbagi dalam dua kelompok agama besar: Muslim dan Nasrani, sedangkan Malaysia terdiri dari sangat banyak suku yang terbagi dalam 3 kelompok suku besar: Melayu, Cina dan India. Dan kekompleksan struktur ini memanglah merupakan salah satu alasan mengapa sistem politik etnis atau sektarian ini diberlakukan, yaitu guna menghindari terjadinya konflik antar aliran-aliran dan suku-suku tersebut karena masing-masing sudah mendapatkan bagiannya sendiri-sendiri.
Perbedaan selanjutnya yang dapat kita temukan adalah, di Lebanon sistem pembedaan berdasarkan etnis ini hanya berlaku dalam sektor politik saja, yaitu dengan adanya penentuan bahwa yang menjabat sebagai presiden haruslah seorang Katolik Maronite, sedangkan Perdana Menteri dijabat oleh seorang pemimpin Islam Sunni, Wakil Perdana Menteri merupakan seorang Kristen Ortodoks, dan Ketua Parlemen merupakan seorang Muslim Syiah, serta rasio pembagian kursi di parlemen sebanyak 5:5 antara Kristen:Muslim. Sedangkan di Malaysia, pembedaan etnis ini tak hanya berlaku dalam sektor politik saja, namun juga berlaku dalam memisahkan antara sektor politik dan ekonomi. Dalam konstitusi yang berlaku di Malaysia disebutkan bahwa penduduk Melayu memegang peranan dalam politik dan pemerintahan, sedangkan etnis non-Melayu (contohnya Cina) memegang peranan dalam bidang ekonomi.
Pembagian kedudukan atau posisi di pemerintahan yang dilakukan di Lebanon juga lebih terstruktur, setiap aliran agama sudah ditentukan jatah kursi di parlemen yang berhak didapatkan masing-masing. Sedangkan di Malaysia tidak terstrukrur, sehingga tetap terjadi dominasi dari etnis Melayu. Hal tersebut mungkin dikarenakan karena pernah terjadinya konflik hebat di Lebanon yaitu perang saudara yang disebabkan oleh ketidakadilan dalam pemerintahan tersebut sehingga cara pembagian yang sangat terstruktur dan detail itu merupakan salah satu cara yang digunakan untuk menghindari terjadinya konflik-konflik antar agama yang tidak diinginkan. Sedangkan di Malaysia belum pernah ada tragedi konflik besar yang terjadi antar etnis. Konflik yang terjadipun ada yang hanya disebabkan oleh kawasan tinggal mereka yang berbeda-beda sehingga timbul jarak sosial yang menyebabkan kurangnya interaksi dan bidang pekerjaan yang berbeda; perbedaan unsur-unsur kebudayaan seperti bahasa, agama, dan adat istiadat; prasangka dan prejudis yang menebal; adanya penguasaan pada bidang-bidang tertentu yang dikuasai oleh suatu kaum tertentu saja; dan keengganan kaum-kaum tersebut untuk saling membuka diri terhadap kaum yang lainnya. Namun konflik antar etnis yang terjadi masih dalam batas yang masih bisa ditolerir, sehingga sistem pembagiannya tetap seperti itu.

KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Malaysia dan Lebanon adalah dua contoh negara yang mempunyai keberagaman etnis. Walaupun sama-sama mempunyai keberagaman etnis, namun dominasi dan peran etnis di dua negara tersebut sangat berbeda. Perbedaannya adalah di Lebanon sistem politik etnis diimplementasikan berdasarkan agama-agama yang ada di Lebanon, sedangkan di Malaysia diimplementasikan berdasarkan suku-suku yang ada di Malaysia;
2. Berdasarkan pola yang ada di dua negara tersebut, bahwa sistem politik etnis di kedua negara tersebut didasarkan pada apa yang strukturnya lebih banyak dan kompleks, dalam hal ini yaitu agama dan suku. Karena memang jika dilihat Lebanon terdiri dari sangat banyak aliran agama yang kemudian terbagi dalam dua kelompok agama besar: Muslim dan Nasrani, sedangkan Malaysia terdiri dari sangat banyak suku yang terbagi dalam 3 kelompok suku besar
3. Di Lebanon, sistem pembedaan berdasarkan etnis ini hanya berlaku dalam sektor politik saja, Sedangkan di Malaysia, pembedaan etnis ini tak hanya berlaku dalam sektor politik saja, namun juga berlaku dalam memisahkan antara sektor politik dan ekonomi;
4. Pembagian kedudukan atau posisi di pemerintahan yang dilakukan di Lebanon juga lebih terstruktur, setiap aliran agama sudah ditentukan jatah kursi di parlemen yang berhak didapatkan masing-masing. Sedangkan di Malaysia tidak terstruktur, sehingga tetap terjadi dominasi dari etnis Melayu.


DAFTAR PUSTAKA :
1. Lebanon Pra- Dan Pasca-Perang 34 Hari Israel VS Hizbullah, Mayor Ari Yulianto, PT. Gramedia Pustaka Lama
2. Kegagalan Mekanisme Consociational Dalam Mengatasi Konflik Lebanon http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=892
3. Sekretariat Nasional ASEAN Departemen Luar Negeri RI, 1989, ASEAN Selayang Pandang,hal 153
4. http://www.antaranews.com/view/?i=1204898568&c=ART&s=
5. http://www.unisosdem.org/ekopol_detail.php?aid=9707&coid=3&caid=31
6. http://internasional.kompas.com/read/2010/09/13/08165053/Politik.Rasialis.di.Sudut.Malaysia
7. http://www.rimanews.com/node/2720


Disusun oleh :
Faela Sufa (09/280657/SP/23228)
Nadya Prima Hafni. A (09/280412/SP/23198)
Hani Setyawaskitaningrum (09/280464/SP/23203)
Dewanti Aditya Wardhani (09/280530/SP/23210)
Etta Desita Ramadhani (09/280537/SP/23211)
Tian Satyaning Kristanti. D (09/280543/SP/23213)
Putri Atikasari (09/280554/SP/23215)
Ananta Aldi. A (09/280579/SP/23217)
Egiet Woro Hapsari (09/280602/SP/23218)
Cindy Shabrina Putry (09/280632/SP/23223)

KELOMPOK 2 : PERBANDINGAN PARTAI POLITIK AUSTRALIA DAN INGGRIS

Perbandingan Kebijakan PM Inggris, Gordon Brown, dengan PM Australia, Kevin Rudd
dalam Menangani Masalah Iklim GlobaL

Australia dan Inggris, merupakan dua negara yang sangat erat hubungannya dalam sejarah, terkait dengan persemakmuran Inggris di masa lalu. Inggris sendiri merupakan negara yang menjadikan kerajaannya sebagai simbol negara yang berada di balik pemerintahan, meskipun ada beberapa kelompok yang meyakini ketiadaan peran kerajaan dalam pemerintahan Inggris. Sedangkan Australia merupakan bentuk negara yang federal, dengan adanya pemerintah negara bagian yang memiliki otoritas dalam berjalannya pemerintahan masing-masing. Namun persamaan dari keduanya adalah, adanya Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan yang satu, sehingga adanya keputusan atau kebijakan pusat yang sangat berpengaruh terhadap sikap atau peraturan yang akan berjalan dalam negara tersebut.

Terpilihnya Perdana Menteri dalam siklus pemerintahan membawa beberapa faktor yang akan mempengaruhi terbentuknya kebijakan-kebijakan tersebut pada level lanjut, di mana dalam paper ini yang akan menjadi perhatian adalah partai yang menjadi asal Perdana Menteri kedua negara tersebut. Pada periode yang menjadi ruang lingkup kali ini, partai buruh merupakan sorotan utama sebagai asal dari Perdana Menteri Australia dan Inggris, yaitu Gordon Brown (Inggris 2007-2010), dan Kevin Rudd (Australia 2007-2010). Partai Buruh sendiri merupakan partai yang sosialis-demokratis pada umumnya, dengan mengangkat kepentingan para buruh dan serikat kerja sebagai visi awal, melawan bentuk kapitalisme. Namun dengan semakin majunya globalisasi, dan meluasnya isu-isu yang menjadi perhatian dunia, maka partai buruh mulai bergerak dalam lingkup global, tidak hanya sekitar kompetisi dan kontestasi dengan satu pihak saja, yang pada kasus ini adalah isu lingkungan terkait Global Warming.

Inggris memiliki Partai Buruh yang dikenal bergerak sebagai sayap kiri, sedangkan Partai Konservatif di sayap kanan, yang lebih strukturalis. Popularitas partai buruh Inggris pada umumnnya meningkat karena memiliki visi yang jauh lebih baik di mata masyarakat, di mana pada saat itu, Brown melanjutkan kepemimpinan Tony Blair dengan oposisi partai Konservatif yang mengusung David Cameron sebagai pimpinan. Mengenai isu lingkungan, pada kepemimpinan Brown, Inggris yang selama sejarah perjalanan UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change) tidak memiliki sikap yang kooperatif dengan negara-negara lain dalam pencapaian kesepakatan, berubah dengan menandatangani dan meratifikasi Kyoto Protocol sebagai bentuk kerja sama Inggris dengan dunia dalam menangani dampak dari pemanasan global. Dalam kampanye-nya terhadap pemanasan global di level- regional, Gordon Brown menginginkan dan mendesak pemerintah negara-negara Uni Eropa mengurangi emisi karbon hingga 30 persen, dengan menjadikan Inggris sebagai poros utama terhadap kebijakan ini dengan menekan industry daging dan susu. Namun di akhir pemerintahannya, Gordon Brown mengundurkan diri dengan mengusung partai konservatif dalam membentuk pemerintahan baru, hal ini diakibatkan oleh menumpuknya hutang Inggris. Kegagalan ini mengakibatkan, tersendatnya pergerakan Inggris dalam bidang lingkungan.

Sedangkan di Australia, partai buruh bergerak aktif di setiap negara bagian Australia, lebih tepatnya merupakan gabungan dari partais sosialis-demokratis dengan partai federal yang berafiliasi. Kevin Rudd merupakan perdana menteri yang lahir dari partai buruh pada November 2010. Sama seperti pemerintahan Brown di Inggris, pada pemerintahan Rudd, Australia berbalik arah dengan meratifikasi Kyoto Protocol, sehingga Australia turut serta dalam menangani masalah pemanasan global. Rudd memiliki janji bahwa partai buruh akan membuat undang-undang mengenai pengurangan emisi rumah kaca, dan memiliki target Australia menjadi less-carbon 20% pada 2020, dan netral karbon pada 2050. Kelemahan Rudd terletak pada kebijakan profit tax 40% pada laba perusahaan pertambangan, sehingga pada akhirnya Julia Gillard menjadi penerusnya, baik dalam partai buruh sebagai ketua, maupun sebagai perdana menteri wanita pertama Australia.

Seperti diketahui sebelumnya, Perdana Mentri Australia sebelumnya, yaitu John Howard menolak keikutsertaan Australia dalam Kyoto Protocol karena menurutnya dapat mengganggu kelangsungan perekonomian Australia, namun hal ini justru dijadikan isu yang diangkat oleh Rudd untuk memenangkan pemilu dan menjadikannya Perdana Mentri Australia 2007-2010. Sehingga Australia pada masa pemerintahan Kevin Rudd dan Inggris dibawah pemerintahan Gordon Brown sangat concern dengan isu lingkungan, sangat aktif dan berkomitmen kuat demi mengatasi masalah pemanasan global tersebut. Namun Gordon Brown memiliki ruang lingkup tindakan yang lebih luas dalam pengimplementasian upayanya ini, selain untuk negaranya sendiri ia juga mendesak Negara-negara maju dan berkembang di dunia untuk ikut dalam usaha mengatasi perubahan iklim, sedangkan Rudd lebih fokus melaksanakannya ke dalam negeri saja.

DAFTAR REFERENSI :

Almond, Gabriel. 1956. Comparative Political System. Southern Political Science Association.
http://www.eramuslim.com/berita/dunia/gordon-brown-pm-inggris-ketiga-terburuk-di-inggris.htmhttp://www.alp.org.au/
http://arsip.net/id/link.php?ih=VV0KUwQJBwZV diakses pada tgl 19 November 2010
www.beritaindonesia.co.id/mancanegara/harry-potter-ratifikasi-protokol-kyoto
http://www.guardian.co.uk/environment/2008/dec/01/carbon-emissions-climate-change-report diakses pada tgl 20 November 2010
www.suprememastertv.com/ina/save-our-planet/?wr_id=2138&page=1 diakses pada tgl 20 November 2010
http://www.alpensteel.com/article/53-101-energi-terbarukan--renewable-energy/2720--kementrian-energi-dan-perubahan-iklim-dibentuk-inggris.html diakses pada tgl 20 November 2010
S. Winkler, Babak Baru Perpolitikan Australia (online), 1 Desember 2007, , diakses tanggal 20 November 2010.
PAB Indonesia, Selain Jumpa PM Rudd, SBY Temui Al Gore (online), 2 Desember 2007, , diakses tanggal 20 November 2010.
DW-World, PM Inggris Meningkatkan Tekanan Mengatasi Perubahan Iklim (online), 19 Oktober 2010, , diakses tanggal 21 November 2010.
http://asiacalling.kbr68h.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1240:the-end-of-a-political-era-in-australia<emid=390&lang=in



Disusun Oleh :
Ghulam Ubaidah (23195)
Christie Afriani (23192)
Anissa Setyaningtyas (23181)
Ira Setiawati Putri (23194)
Annisa Zahria (23186)
Putri Perwira (23177)
Angga Aditama Putra (23191)
Nurunnisa ()
Febrian Perdana Putra (23179)
Annabella Agronesia (23190)

KELOMPOK 1 : PERBANDINGAN MILITER BRAZIL DAN INDONESIA

PERAN MILITER BRAZIL DAN INDONESIA DALAM MENJAGA STABILITAS KEAMANAN DAN PERTAHANAN NEGARA SERTA DAMPAKNYA TERHADAP DEMOKRASI DAN PEMBANGUNAN EKONOMI (Era 1980 – 1990an)

Militer atau angkatan bersenjata adalah suatu institusi dalam sistem politik suatu negara, yang secara esensial berfungsi sebagai ujung tombak utama dalam upaya pertahanan keamanan suatu institusi negara baik yang berasal dari pihak luar, maupun ancaman keamanan yang berasal dari internal suatu negara. Namun, seiring perkembangannya institusi militer kerapkali melanggar tujuan esensial penciptaannya sebagai alat pertahanan keamanan negara. Institusi militer kemudian ikut campur lebih dalam ke sistem politik suatu negara, misalnya menjadi salah satu unsur penting dalam decision making process pemerintahan suatu negara, sehingga militer menjadi pihak yang mengatur jalannya suatu negara. Indonesia dan Brazil merupakan dua negara berkembang yang sama-sama memiliki sejarah pemerintahan yang sempat dikuasai oleh pemimpin yang berlatar belakang militer, yaitu Brazil di bawah kepemimpinan João Baptista de Oliveira Figueiredo (1979-1985) dan Indonesia di bawah kepemimpinan Soeharto (1965-1998) yang menonjol pada tahun 1980 hingga 1990an. Militer berhasil memasuki kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat di kedua negara tersebut.

Raise of Power Milier
• Indonesia : Militer masuk ke dalam pemerintahan sejak pengalihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto yang memiliki latar belakang militer yang kuat. Soeharto meniti karir militernya dari pangkat sersan tentara KNIL Hindia-belanda, kemudian komandan PETA, komandan resimen dengan pangkat Mayor, dan komandan batalyon berpangkat Letnan Kolonel. Ia pernah menjadi Pengawal Panglima Besar Sudirman dan menjadi Panglima Mandala (pembebasan Irian Barat). Ketika terjadi peristiwa G-30-S/PKI, ia mengambil alih pimpinan Angkatan Darat. Selain sebagai Pangad, Jenderal Soeharto juga ditunjuk sebagai Pangkopkamtib oleh Presiden Soekarno. Pada Maret 1966, Jenderal Soeharto menerima Supersemar dari Presiden Soekarno dengan tugas untuk mengembalikan keamanan dan ketertiban, serta mengamankan ajaran-ajaran Soekarno. Dikarenakan situasi politik yang memburuk setelah terjadinya G-30-S/PKI, kemudian diadakan Sidang Istimewa MPRS pada Maret 1967 yang memutuskan penunjukan Soeharto sebagai presiden RI kedua pada Maret 1968. Masa pemerintahannya, yaitu masa Orde Baru memiliki landasan formal berupa Pancasila, UUD 1945, dan Ketetapan MPRS yang menyebabkan peranan presiden kemudian semakin besar. Soeharto mendominasi dan menjadi penguasa mutlak karena tidak ada lembaga atau institusi yang mengawasi presiden dan mencegah penyelewengan kekuasaan. Porsi kekuatan militer di Indonesia menjadi lebih besar karena adanya pengaruh Dwi Fungsi ABRI yang dalam realisasinya mengaburkan fungsi pertahanan dan fungsi ketertiban, dan justru mengakibatkan meluasnya peranan militer. Format Dwi Fungsi ABRI pada masa Soeharto antara lain, politik sentralisasi di tangan eksekutif, pendekatan keamanan menjadi ciri yang menonjol, dominasi militer dengan pendayagunaan dan perluasan Dwi Fungsi ABRI, rendahnya apresiasi terhadap supremasi hukum, dan otoritas birokrasi yang berlebihan.

• Brazil : Pemerintahan militer sudah berlangsung di Brazil jauh sebelum João Baptista de Oliveira Figueiredo berkuasa. Figueiredo menerima pendidikan menengah di sekolah militer di Porto Alegre dan Rio de Janeiro, meraih gelar aspirante di kavaleri pada 1937, tiga tahun misi pelatihan militer Brazil di Paraguay, melalui Escola Superior de Guerra ia kemudian bergabung dengan fakultas di sekolah staf umum pada tahun 1961 dimana ia berpartisipasi dalam konspirasi yang membawa turun Presiden João Goulart pada tahun 1964. Figueiredo dipromosikan menjadi kolonel pada bulan Agustus 1964 dan membantu menemukan SNI sebagai lembaga intelijen utama pemerintah federal. Sebelum menjabat sebagai kepala SNI tahun 1974, ia pernah menjabat sebagai kepala polisi negara bagian São Paulo (1966-1968) dan sebagai komandan resimen kavaleri 1 bergengsi di Brasilia (1968-1969). Dipromosikan menjadi brigadir jenderal pada 1969, ia menjabat sebagai kepala staf angkatan darat ketiga yang bermarkas di Porto Alegre dan kemudian di SNI. Saat pemerintahan Geisel, Figueiredo ditunjuk sebagai kepala jenderal SNI. Pemerintahan Brazil bertransformasi dari parlementer ke sistem diktator militer karena pemerintahan parlementer yang dipimpin oleh Presiden Goulart dianggap terlalu mencampuri urusan internal militer yang merubah sistem promosi dan mutasi perwira dengan maksud menjamin kesetiaan militer, yang kemudian berdampak pada penggulingan kekuasaannya. Pada masa pemerintahan diktator militer, terdapat kontrol yang ketat atas pers dan pihak oposisi. Tetapi pada masa Figueiredo, hal ini dilunakkan dan dibentuk dewan yang mengatur siaran radio dan televisi. Pada saat itu kaum militer juga mengambil alih kekuasaan dan menggalakan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemusatan kekayaan terhadap sekelompok masyarakat di Brazil. Sejak tahun 1964, kaum militer juga menentukan arah politik luar negeri.

Bentuk dan Sistem Pemerintahan
• Indonesia : Pada masa pemerintahan Soeharto, bentuk dan sistem pemerintahan di Indonesia sangat kental sekali dengan nuansa militer. Keterlibatan militer dalam posisi-posisi dan jabatan sipil dimulai ketika munculnya konsep Dwi Fungsi ABRI. Dengan masuknya militer dalam pemerintahan, otomatis megubah peta perpolitikan pada saat itu dimana badan esekutif, legislatif, dan yudikatif cenderung didominasi oleh kalangan militer, baik dari segi tokoh-tokoh didalamnya maupun kebijakannya. Selain itu, jalannya pemerintahan pada saat itu menjadi cenderung otoriter, sentralistik, meluasnya praktek korupsi, dan banyak melakukan pelanggaran HAM. Campur tangan militer dalam pemerintahan ditandai dengan adanya pembatasan politik bagi rakyat, bagi mereka yang berbeda suaranya dengan pemerintah dianggap pembangkang, atau antek-antek komunis. Jumlah partai dikurangi hingga hanya dua partai saja, yaitu PPP dan PDI, sedangkan Golkar dinyatakan sebagai organisasi pemilu mendampingi kedua partai tersebut. Dengan dukungan Soeharto, birokrasi, dan ABRI membuat Golkar selalu menjadi mayoritas dalam pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.

• Brazil : Pada tahun 1980an, secara politis-konstitusional telah terjadi kemunduran angkatan bersenjata dan militer dari kursi pemerintahan. Periode pasca kemunduran militer ini merupakan periode awal bagi liberalisasi dan demokratisasi. Tahap ini diikuti dengan adanya gerakan mahasiswa, organisasi buruh, gerakan gereja katholik, media, dan gerakan lainnya yang secara bertahap muncul sebagai bentuk pernyataan atas dukungan terhadap liberalisasi sistem politik di Brazil. Selain itu, pada tahun 1985, tercatat bahwa pembangunan di Brazil ditandai dengan ketergantungan yang didasarkan pada tripod ekonomi, yaitu aliansi swasta, modal nasional negara, dan modal internasional. Di sisi lain, periode pasca kemuduran militer dalam pemerintahan sebagai awal liberalisasi dan demokratisasi terbukti dengan terpilihnya Presiden Jose Sarney dari kalangan sipil dan pada tahun 1989.

Peran Signifikan Militer
• Indonesia : Dominasi militer dalam pemerintahan Orde Baru dimanfaatkan oleh elit politik yang berkuasa saat itu, yaitu Soeharto untuk memenuhi kepentingan politiknya, yaitu mempertahankan kekuasaan. Pemerintahan Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto menempatkan militer pada posisi-posisi strategis pemerintahan, legislatif, ataupun posisi strategis Golkar. Golkar adalah partai bentukan militer yang dibuat untuk ikut dalam Pemilu untuk mendapatkan legitimasi rakyat atas pemerintahan Orde Baru. Hubungan Golkar-militer cukup dinamis, dimulai dari dominasi militer didalam tubuh Sekber Golkar, dan Soeharto yang kemudian tampil dominan dalam Golkar sebagai dewan pembina. Hal ini dilakukan untuk memastikan Golkar akan keluar sebagai pemenang Pemilu sehingga Soeharto bisa kembali berkuasa.

• Brazil : Pemerintahan Brazil saat itu menggunakan militer untuk menjamin keamanan negara yang tidak hanya meliputi pertahanan terhadap agresi dari luar melainkan pertahanan terhadap pemberontakan dan komunisme di dalam negeri. Militer pada masa pemerintahan Figueiredo tidak digunakan untuk mencapai self-interest elite politik yang berkuasa, melainkan untuk membantu demokratisasi Brazil dengan cara mengawasi proses tersebut.

Dampak Peran Militer terhadap Demokrasi dan Pembangunan Ekonomi
Dalam kepemimpinan masing-masing presiden Brazil dan Indonesia terdapat perbedaan yang cukup signifikan setelah menjalankan pemerintahannya setelah beberapa tahun. Demokratisasi di Indonesia merupakan demokrasi yang dimulai dari bawah (oleh masyarakat) dan baru berjalan saat mendekati jatuhnya rezim pemerintahan Soeharto pada tahun 1998. Tidak seperti Indonesia yang demokratisasinya terjadi dikontrol oleh masyarakat (demokratisasi dari bawah), demokratisasi yang terjadi di Brazil merupakan demokrasi di kontrol dari atas. Militer pada masa pemerintahan Figueiredo tidak digunakan untuk mencapai self-interest elite politik yang berkuasa, melainkan untuk membantu demokratisasi Brazil dengan cara mengawasi proses tersebut. Para pemimpin yang otoriter tersebut menggalakkan pembangunan dan liberalisasi ekonomi besar-besaran. Namun, ternyata hasilnya hanya dinikmati oleh sebagian orang saja, dan seringkali masyarakat yang menjadi korban ketidakadilan tersebut. Pembangunan seringkali hanya tersentralisasi di ibukota dan tidak merata hingga ke pelosok negeri. Selain itu, pemerintahan militer di Brazil dan Indonesia pada umumnya menganut sistem perekonomian yang berbasis kepada mekanisme perekonomian pasar dan tergantung pada bantuan asing, sehingga menimbulkan dampak pada bertambahnya hutang luar negeri yang pada akhirnya membuat hancurnya perekonomian negara.
Hal di atas merupakan bukti bahwa Indonesia dan Brazil tidak berhasil mengaplikasikan supremasi sipil karena masyarakat tidak memiliki kemampuan legislatif untuk mengatur tugas-tugas militer yang seharusnya, yaitu yang berkaitan dengan pertahanan dan keamaan negara. Pemerintahan militer yang terjadi di Brazil dan Indonesia juga bertentangan dengan konsep profesionalisme militer, karena seharusnya hanya politisi yang berperan besar dalam masalah politik. Jika militer ingin mencapai tingkat profesionalisme yang tinggi, maka hal tersebut hanya dapat dicapai oleh militer jika ia terisolasi dari politik.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Alagappa, Muthiah. Military Profesionalism in Asia : Conceptual and Empirical Perspectives. Honolulu : East-West Center, 2001.
Aspinall, Edward. Opposing Suharto: compromise, resistance, and regime change in Indonesia. Stanford University Press, 2005.
Carranza, Mario E. Transition to Electoral Regimes and the Future of Civil-Military Relation in Argentina and Brazil. 1997.
Fattah, Dr. Abdoel. Demilitarisasi Tentara ; Pasang Surut Politik Militer 1945-2004. Yogyakarta : LKIS Pelangi Aksara, 2005.
Janowitz, Morris. Hubungan-Hubungan Sipil Militer Persfektif Regional. Jakarta : Bina Aksara, 1985.
J.A., Denny, Fransiskus Surdiasis. Membaca Isu Politik. Yogyakarta : LKIS Yogyakarta, 2006.
Mas’Oed, Mohtar, Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2008.
Muhaimin, Prof. Dr. Yahya A. Masalah Kebijakan Pembinaaan Pertahanan Indonesia. Yogyakarta : Penerbit Tiara Wacana, 2006.
Nordlinger, Eric A. Soldier In Politics, Military Groups and Governments. Engelwood Cliffs : Prentice-Hall., 1977.
Pambudi, A. Sintong dan Prabowo. Media Pressindo, 2009.
Reza, Bhatara Ibnu, Junaedi, dan Rusdi Marpaung. Reformasi Peradilan Militer. Jakarta : Inparsial, 2007.
Samego, Indria, et. al. Bila ABRI Menghendaki. Bandung : Mizan, 1998.
Soempeno, Femi Adi. Mereka Mengkhianati Saya : Sikap Anak-Anak Emas Soeharto di Penghujung Orde Baru.Yogyakarta : Galang Press, 2008.
Winarno, Budi. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Jakarta : Media Pressindo, 2008.
Internet
Aktor dan Kepentingan, 26 Oktober 2010 .

Biografi Presiden Soeharo, 29 Oktober 2010 .

“João Baptista de Oliveira Figueiredo,” Answer.com, 29 Oktober 2010
.
Politik dan Pemerintah, 26 Oktober 2010 .

Sejarah, 26 Oktober 2010 .

Sumber lainnya
Militer dan Politik di Selatan Amerika Latin, 26 Oktober 2010 <1163750619_Militer_dan_Politik_di_Selatan_Amerika_Latin.pdf>.


Disusun oleh :
Rifky Akbar 08/264710/SP/22579
Dwi Prameswari 09/280071/SP/23153
Fauzia Gustarina Cempaka Timur 09/280110/SP/23158
Fetriesna Isro Irmayanti 09/280159/SP/23161
Dewi Andita Sari 09/280167/SP/23162
Aisyah Febria 09/280186/SP/23164
Andana Wiyaka Putra 09/280253/SP/23168
Desy Valentin 09/280270/SP/23169
G.A. Amanda Clarissa Himawan 09/280278/SP/23172

Pengumpulan Abstraksi Makalah Individu Perbandingan Politik

Untuk teman-teman peserta mata kuliah Perbandingan Politik A 2010, dimohon untuk mengumpulkan abstraksi makalah individu pada hari Rabu, 1 Desember 2010. Apabila ada abstraksi makalah individu yang ingin didiskusikan sebelum batas waktu pengumpulan, dimohon segera menghubungi dosen atau tutor. Terimakasih.

Tuesday, November 16, 2010

Pengumuman Bagi Peserta Kelas Perbandingan Politik A

Ini merupakan Official Blog untuk Mata Kuliah Kelas Perbandingan Politik 2010 yang diampu oleh Bapak Prof. DR. Jahja A Muhaimin dan Mas Dedy Permadi SIP,MA. Sehubungan dengan diliburkannya kegiatan akademik sampai tanggal 28 November 2010, Untuk sementara informasi kegiatan belajar dan mengajar kelas Perbandingan Politik akan disampaikan melalui blog ini.

Untuk mengganti perkuliahan pada hari Rabu 24 November 2010, melalui blog ini akan diposting 3 presentasi kelompok :
  1. Perbandingan Militer Brazil dan Indonesia                    Koordinator : Rifky Akbar
  2. Perbandingan Partai Politik Australia dan Inggris          Koordinator : Ghulam Ubaidah
  3. Perbandingan Sistem Politik Malaysia dan Lebanon     Koordinator : Faelasufa
  •  Pada tanggal 24-26 November 2010, untuk para peserta kelas Perbandingan Politik yang lain dapat memberikan komentar berisi pertanyaan, saran, dan kritik terhadap isi presentasi salah satu dari ketiga kelompok tersebut. Mohon untuk menuliskan Nama dan NIM.

  • Respon atas pertanyaan, saran dan kritik yang masuk akan dijawab oleh kelompok yang bersangkutan dari tanggal 26-28 November 2010 

  • Bagi teman-teman yang aktif mengajukan pertanyaan, saran ataupun kritik terhadap isi presentasi ketiga kelompok akan sangat dipertimbangkan oleh Dosen dan Tutor untuk MENDAPATKAN TAMBAHAN NILAI

  • Untuk kelompok 4 (Perbandingan Kultur Politik Jepang dan Indonesia~Koordinator Yuga Adhiswandaru) dan 5 (Perbandingan Elit Politik Iran dan Turki~Koordinator  M. Reyhanougy) akan Presentasi di kelas pada hari Rabu, 1 Desember 2010. Dimohon untuk mengumpulkan makalah pada hari Senin, 29 November 2010 ke Mas Dedy. 

  • Untuk kelompok 6 (Perbandingan Partisipasi Politik dan China~ Koordinator Amir Abdul Aziz), kelompok 7 (Perbandingan Ekonomi India dan Indonesia~Koordinator Ade Yoga), kelompok 8 (Perbandingan Sistem Pertahanan Rusia dan AS~Koordinator Novandar Dwi A) informasi mengenai jadwal presentasi dan pengumpulan makalah akan diumumkan di Kelas Perbandingan Politik, Rabu 1 Desember 2010.

  • Bila ada pertanyaan seputar jadwal presentasi dan makalah kelompok, setiap koordinator kelompok dimohon menghubungi tutor sesegera mungkin. 

Mohon maaf atas ketidaknyamanan kegiatan belajar dan mengajar Mata Kuliah Perbandingan Politik. Mengingat situasi dan kondisi yang ada maka bila terjadi perubahan jadwal presentasi dan info akademik lainnya, sementara waktu akan diinformasikan melalui Blog ini. Terimakasih.